
Ada banyak kalender dan penanggalan di dunia ini. Salah satunya adalah kalender Hijriah, kalender tahun baru Islam. Sebagai seorang muslim tentu sudah sepatutnya kita mengetahui kalender ini. Sayangnya, semakin sedikit orang Islam yang tahu dan menggunakan sistem penanggalan ini dikehidupan sehari-hari.
Fakta dan Pro-Kontra Kalender Hijriah
Penanggalan di kalender Hijriah diawali dari Bulan Muharram. Adapun kata muharram berasal dari kata “harrama” yang mengalami perubahan bentuk menjadi “yuharrimu-tahriiman-muharraman“. Bentukan “muharraman” memiliki arti yang diharamkan. Apa yang diharamkan? Perang atau pertumpahan darah! Allah SWT melarang segala bentuk tindakan yang dapat memicu terjadinya peperangan dibulan-bulan Harram. Tetapi, bukan berarti menyuruh kita untuk berpangku tangan ketika musuh menyerang. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat At Taubah ayat 36 :
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah sebagaimana disebut di Kitabullah ada 12 bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dan terdapat 4 bulan di dalamnya merupakan bulan yang diharamkan”.
Sebagaimana yang kita tahu, kalender Islam / hijriah yang diawali dari bulan Muharram ini pertama kali digunakan ialah ketika peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Tapi, tahukah kamu bahwa sesunguhnya Nabi SAW dan para sahabat tidak melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah di bulan Muharram, melainkan di Bulan Rabi’ul Awwal. Tepatnya, Rasulullah yang ditemani oleh Abu Bakar memulai hijrahnya ke Yatsrib (Madinah) pada tanggal 2 Rabbi’ul Awwal dan tiba disana pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Fakta tersebut terdapat didalam berbagai referensi sirrah Nabawiyyah yang terpercaya.
Penentuan kalender hijriah sendiri baru dilakukan setelah 6 tahun Rasulullah SAW wafat, yaitu pada zaman Khalifah Umar Bin Khattab. Khalifah sendiri yang menentukan perhitungan tahun pertama dihitung saat Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah. Namun, sebenarnya sistem yang mendasari penanggalan hijriah ini sudah ada sejak zaman pra-Islam. Itulah sebabnya mengapa terdapat perbedaan antara tanggal hijrahnya Rasul dengan tanggal tahun baru Islam.
Pro-Kontra Tradisi Penyambutan 1 Muharram
Sebagai bangsa yang penuh dengan budaya, hampir setiap peristiwa atau tanggal-tanggal penting di Indonesia disambut dan dirayakan dengan berbagai tradisi. Tidak terkecuali dengan penyambutan 1 Muharram sebagai tahun baru Islam, yang masih sering dirayakan dengan bumbu-bumbu ritual sesuai dengan tradisi daerah masing-masing. Hal ini wajar terjadi, karena pada masa pemerintahan Sultan Agung digunakan untuk menarik minat orang Jawa terhadap Agama Islam.
Namun, kita sebagai orang terpelajar tentulah harus menyikapi hal tersebut secara bijak. Karena pada kenyataannya tradisi-tradisi itu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah SAW. Apalagi jika tradisi itu sudah mendekati kemusyrikan, tentulah sudah sepatutnya untuk dihindari.
Tahun Baru Hijriah, Momen Untuk Hijrah!
Allah SWT tidak menciptakan suatu peristiwa dengan sia-sia melainkan terdapat ibrah atau pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa tersebut. Begitupula dengan peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW, terdapat banyak nilai yang dapat kita aplikasikan dikehidupan sehari-hari. Secara harfiah hijrah berarti berpindah dari satu tempat ketempat lain (hijrah fisik). Tetapi, secara maknawi hijrah diartikan sebagai perpindahan dari suatu keadaan yang tidak baik ke arah yang lebih baik, dari kebathilan menuju kebenaran, dari pendosa menjadi pendulang pahala. Ibnu Qayyim menyatakan hijrah maknawi ini dengan sebutan hijrah haqiqiyyah. Selain itu, bulan Muharram yang mengawali Tahun Hijriah ini juga termasuk satu dari empat bulan haram dimana ketika berbuat kebaikan maka sangat berlimpah pahalanya, bukankah hijrah ke arah yang lebih baik juga merupakan suatu kebaikan?
Oleh sebab itu, mari kita jadikan momen tahun baru ini untuk memotivasi diri sendiri menjadi peribadi yang lebih baik lagi. Catat semua mimpi-mimpi kita dan jabarkan langkah apa saja yang harus dilakukan untuk menggapai mimpi tersebut. Tentunya, kita juga harus menjadikan ridha Allah sebagai tolak ukur setiap perbuatan yang akan kita kerjakan. (Ulfah Zulfa/IP/2016)